Bumi dikenal sebagai Blue
Planet karena lautan, yang mencakup lebih dari 70 persen dari
permukaan dan merupakan rumah bagi keragaman terbesar di dunia
kehidupan. Namun, untuk waktu yang cukup lama, manusia belum tahu
darimana - atau kapan - air tiba di bumi. Air sangat penting untuk
kelangsungan hidup kita, tapi anehnya, kita tidak tahu apa-apa
tentang sejarah atau asal-usul air. Ketika masih berada di jenjang
sekolah, guru mengajarkan kepada kita tentang siklus penguapan air
dari lautan atau danau, kondensasi membentuk awan, lalu hujan turun
masuk ke lautan dan danau. Tetapi tidak ada rincian yang menjelaskan
darimana air di bumi berasal.
Al-Quran memberikan
penjelasan kepada kita mengenai asal usul air dalam
ayat berikut:
Dan Allah (juga)
menurunkan (butiran-butiran) es dari langit,
(yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung,
maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya.
Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.
[Quran 24: 43]
Bagian yang ditulis
dengan warna biru dan merah adalah apa yang kita kenal sebagai komet
(baca tulisan sebelumnya mengenai dampak komet terhadap punahnya
dinosaurus). Salah satu teori mengenai asal-usul air di bumi
menyatakan bahwa air berasal dari komet. Hal ini mengacu pada fakta
bahwa komet memiliki air es dalam jumlah sangat banyak. Selain itu,
komet terbukti membawa komponen
yang penting bagi asal usul kehidupan di bumi. Komponen tersebut
meliputi asam amino glisin yang umumnya ditemukan dalam protein, dan
fosfor sebagai komponen kunci dari DNA dan membran sel. Air telah
memainkan peran penting dalam munculnya kehidupan di bumi. Tanpa air,
bumi kemungkinan besar menjadi planet mati.
Tetapi masih ada problem
yang harus dijawab mengacu pada teori bahwa asal muasal air berasal
dari komet.
Setelah melakukan
penelitian, para ilmuwan menemukan bahwa komposisi kimia pada air
komet ternyata berbeda dengan komposisi kimia pada air yang ada di
lautan. Pengukuran dengan instrumen Rosina menunjukkan bahwa rasio
deuterium-to-hidrogen pada komet 67P / Churyumov-Gerasimenko memiliki
deuterium lebih tinggi dibandingkan dengan air di bumi.
Rasio
deuterium-to-hidrogen pada komet ==> 5.3 ± 0.7 x 10-4
Rasio
deuterium-to-hidrogen pada lautan ==> 1.55 x 10-4
Tanpa harus masuk pada
penjelasan yang rumit, penelitian membuktikan bahwa komet memiliki
rasio deuterium-to-hidrogen sebanyak tiga kali lipat dibandingkan
dengan air lautan. Dari sini, sebagian ilmuwan kemudian mengambil
kesimpulan bahwa kemungkinan air di bumi bukan berasal dari komet,
tetapi dari asteroid.
''Bukti memberitahu kita bahwa komposisi kimia pada air laut berbeda
dengan komposisi kimia pada air komet. Jika asal usul air di bumi
benar-benar berasal dari komet, lalu kenapa air laut memiliki
kandungan deuterium lebih sedikit dibandingkan dengan air pada
komet?''
Dalam kajian ilmiah, kita tidak bisa hanya sekedar
berasumsi. Kita harus membuktikannya dengan pengamatan dan
eksperimen.
Kembali kepada
pertanyaan, kenapa air laut memiliki kandungan deuterium lebih
sedikit dibandingkan dengan air pada komet? Secara sederhana, hal ini
karena kondisi laut saat ini berbeda dengan kondisi laut milyaran
tahun yang lalu.
Untuk menjawab misteri ini, para peneliti
dari Denmark melakukan pengamatan pada mineral yang disebut
serpentine (serpentine terbentuk ketika kerak bumi bertemu dengan air
laut pada suhu tinggi melalui saluran dan retakan di bawah dasar
laut). Para peneliti dalam hal ini memilih serpentine di wilayah
Greenland barat di mana beberapa batu tertua di bumi terbentuk. Batu
diperkirakan memiliki usia 3,8 miliar tahun yang lalu.
Sampel batuan yang
diambil kemudian dianalisis di laboratorium di Universitas Stanford
di California, Amerika Serikat. Tes mengungkapkan bahwa rasio
deuterium-to-hidrogen secara signifikan lebih tinggi daripada yang
terlihat pada hari ini.
Penjelasan dari para
peneliti adalah sebagai berikut:
Empat milyar tahun yang
lalu, komposisi kimia dari air laut terbagi menjadi hidrogen, deuterium dan
oksigen melalui proses yang disebut methanogenesis. Hidrogen dan
deuterium merupakan gas low-density, sehingga keduanya naik melalui
atmosfer dan akhirnya menuju ke antariksa (methanogenesis merupakan
proses dimana air dan karbon dioksida bereaksi membentuk metana, dan
kemudian hidrogen).
Reaksi Kimia:
1. 2H2O (water) + CO2
(carbon dioxide) ==> CH4 (methane) + 2O2 (oxygen)
2. CH4 (methane) + 2O2
(oxygen) ==> CO2 + O2 + 2H2 (hydrogen)
Net Effect:
2H2O (water) ==> O2
(oxygen) + 2H2 (hydrogen)
Artinya, methanogenesis
dalam hal ini hanya efektif untuk menghasilkan hidrogen yang
menghilang ke antariksa, tetapi tidak untuk deuterium. Methanogenesis
juga bisa menghasilkan deuterium, namun proses ini secara signifikan
jauh lebih lambat. Hal ini secara perlahan namun pasti mengubah rasio deuterium-to-hidrogen pada air laut. Dengan menganalisis
hidrogen dan deuterium yang telah menghilang dari lautan selama empat
miliar tahun lalu, para peneliti menghitung bahwa lautan telah
kehilangan sekitar seperempat air mereka sejak lautan itu sendiri
pertama kali terbentuk. Wallaahu
a'lam bishawaab.