Friday, June 24, 2016

Sulit Untuk Bernafas Pada Ketinggian Ekstrem

Ketika kita menghirup udara di tempat dengan ketinggian sama dengan permukaan laut, tekanan atmosfir sekitar cukup tinggi (101,325 Pa). Konsentrasi oksigen di udara dengan ketinggian sama dengan permukaan laut adalah 20,9 persen. Hal ini menyebabkan oksigen dengan mudah masuk melewati saluran pernafasan (membran paru-paru) kita. Pada tempat yang tinggi, oksigen lebih sulit masuk ke sistem peredaran darah. Hal ini karena tekanan udara yang lebih rendah. Hasilnya adalah hipoksia atau kekurangan oksigen. Sebagai akibatnya, tubuh bereaksi dengan bernafas lebih cepat, lebih dalam, dan sering tersengal ketika melakukan aktifitas.

Sulit untuk bernafas pada ketinggian ekstrim. Image: Wikimedia
Menurut International Society for Mountain Medicine, Ada tiga tingkatan ketinggian yang mencerminkan jumlah oksigen yang menurun secara drastis di atmosfer:

Tinggi = 1.500-3.500 meter (4,900-11,500 kaki)
Sangat tinggi = 3.500-5.500 meter (11.500-18.000 kaki)
Ketinggian ekstrim = di atas 5.500 meter (18.000 kaki)

Al-Qur’an menjelaskan hal ini dalam ayat berikut:

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. [Surat Al-An'am Ayat 125]

Ketika kita melakukan perjalanan ke daerah pegunungan yang sangat tinggi, tubuh kita secara otomatis melakukan respons fisiologis. Ada peningkatan pernapasan pada membran paru-paru dan peningkatan denyut jantung. Tingkat denyut nadi dan tekanan darah naik tajam saat jantung kita berdenyut kencang untuk mendapatkan lebih banyak oksigen ke sel. Hal ini merupakan perubahan yang menyiksa, terutama bagi orang-orang dengan jantung yang kurang sehat.

Efek dari hipoksia. Image: Wikimedia
Atmosfir pada ketinggian 8.000 meter disebut zona kematian. Hal ini mengacu pada ketinggian di atas titik tertentu dimana jumlah oksigen tidak mencukupi untuk menopang kehidupan manusia. Konsep zona kematian pertama kali dicetuskan pada tahun 1953 oleh Edouard Wyss-Dunant, seorang dokter Swiss, dalam sebuah artikel tentang aklimatisasi yang diterbitkan dalam jurnal Swiss Foundation for Alpine Research. Banyak kematian disebabkan oleh dampak zona kematian karena tubuh manusia tidak bisa menyesuaikan diri. Berada di tempat dengan ketinggian lebih dari 8.000 meter akan mengakibatkan kemunduran fungsi tubuh, kehilangan kesadaran, dan akhirnya kematian. Wallaahu a’lam bishawaab.