Ilmu psikologi dan
kedokteran berada di tengah pergeseran paradigma karena penelitian
telah menemukan bahwa hati adalah
organ sensorik yang dapat memproses
informasi, belajar, menahan ingatan, dan membuat keputusan secara
independen. Di bidang neurokardiologi, para ilmuwan telah
menemukan bahwa hati memiliki sistem saraf sendiri. Jaringan saraf
tersebut bisa disebut sebagai "heart brain" karena
mengandung lebih dari 40.000 neuron. Hal ini menunjukkan bahwa hati
ternyata memiliki kemampuan neuroplastisitas
– yang selama ini hanya dikenal pada otak. Intinya, hati merupakan
sistem yang cerdas.
Al-Quran menjelaskan
mengenai hal ini dalam ayat berikut:
Dan Dialah yang telah
menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati.
Amat sedikitlah kamu bersyukur. [Surat Al-Mu’minun Ayat 78]
Hal ini menarik bahwa
pendengaran dan penglihatan sebagai sarana menerima informasi tidak
dikaitkan dengan otak atau akal. Hati dalam ayat di atas bukan
sebagai tempat perasaan – gembira, sedih, marah, gelisah dan
sebagainya – melainkan sebagai sarana untuk memahami sebuah
informasi seperti dijelaskan dalam ayat berikut:
Maka apakah mereka
tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan
itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang
dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata
itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
[Surat Al-Hajj Ayat 46]
Para peneliti juga
menemukan bahwa antara hati dan otak terjadi komunikasi dua arah yang
dinamis dan berkelanjutan. Sebuah studi menunjukkan bahwa hati berkomunikasi dengan otak melalui empat cara: secara neurologis
(melalui transmisi impuls saraf), secara biokimia (melalui hormon dan
neurotransmiter), secara biofisik (melalui gelombang tekanan) dan
secara energetika (melalui interaksi medan elektromagnetik).
Komunikasi ini secara signifikan mempengaruhi aktivitas otak kita.
Hati menerjemahkan
informasi yang kemudian dikomunikasikan melalui dorongan neurologis
dan masuk ke otak kemudian menuju medula dan akhirnya sampai ke pusat
otak yang lebih tinggi di mana mereka dapat mempengaruhi proses kognitif kita seperti bagaimana kita membuat keputusan dan bagaimana
kita memandang realitas. Secara historis, di hampir setiap budaya
dunia, hati dianggap memiliki peran yang jauh lebih beragam dalam
sistem kehidupan manusia. Hati dianggap sebagai sumber kebijaksanaan,
wawasan spiritual dan pemikiran.
Al-Quran memberi kecaman
keras terhadap mereka yang tidak mau menggunakan hatinya untuk
berpikir seperti dijelaskan dalam ayat berikut:
Dan sesungguhnya Kami
jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai. [Surat Al-A’raf Ayat 179]
Dalam Hadits dari Nu`man
bin Basyir bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Ingatlah
sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika
segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal
daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal
daging itu adalah hati". (HR Muslim no. 1599. Hadits ini juga
diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasâ`i, Abu
Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Darimi, dengan lafazh yang
berbeda-beda namun maknanya sama. Hadits ini dimuat oleh Imam
an-Nawawi dalam Arba’in an-Nawawiyah, hadits no. 6, dan
Riyadhush-Shalihin, no. 588)
Image: holyhealthyhealth.com |
Pearsall, pakar yang ahli
di bidang psiko-neuro-imunologi, telah meneliti beberapa pasien
penerima transplantasi hati. Dia menemukan bahwa banyak dari mereka
yang telah mengalami perubahan karakteristik mengikuti karakter
pendonor. Pearsall memberi contoh individu yang misalnya tiba-tiba
menyukai musik tertentu yang dulu mereka benci sebelum transplantasi,
atau tiba-tiba tidak menyukai makanan tertentu. Masing-masing
karakteristik ini setelah dilacak ternyata sesuai dengan karakteristik pendonor hati yang menyukai jenis musik
tersebut atau membenci makanan tertentu.
Mungkin salah satu contoh
paling mencolok adalah seorang gadis berusia delapan tahun yang
menerima transplantasi hati seorang gadis berusia sepuluh tahun yang
dibunuh. Tak lama setelah transplantasi, gadis kecil tersebut
memberitahu ibunya tentang seorang pria yang telah membunuh sang
pendonor. Ibu membawa anak itu ke psikiater yang mempercayai ucapan
gadis itu dan selanjutnya memanggil polisi. Dengan menggunakan
deskripsi gadis kecil tentang senjata, waktu, pakaian yang dipakai si
pembunuh dan tempat kejadian perkara, polisi akhirnya bisa menemukan
si pembunuh.
Pearsall lebih lanjut
menyatakan bahwa setiap pasien transplantasi hati, tidak peduli
berapa tahun melewati transplantasi, masih “berkomunikasi” dengan
hati baru mereka dalam beberapa cara dan melaporkan beberapa bentuk
jejak spiritual dari pendonor. Hal ini menunjukkan bahwa manusia
tidak memiliki kontrol terhadap hati mereka. Jadi siapa yang
mengendalikan hati manusia?
Al-Quran memberikan
jawaban mengenai hal itu dalam ayat berikut:
Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu,
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan
hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.
[Surat Al-Anfal Ayat 24]
Ayat di atas menjelaskan
bahwa Allah SWT menguasai hati manusia. Selama ribuan tahun, para
cendekiawan, filsuf dan ilmuwan telah merenungkan bahwa jiwa berada
di dalam hati, bahwa hati adalah sumber cinta, dan bahwa kita
merasakan dengan hati kita. Wallahu a'lam.