Friday, March 11, 2016

Hati Memiliki Kemampuan Untuk Berpikir

Ilmu psikologi dan kedokteran berada di tengah pergeseran paradigma karena penelitian telah menemukan bahwa hati adalah organ sensorik yang dapat memproses informasi, belajar, menahan ingatan, dan membuat keputusan secara independen. Di bidang neurokardiologi, para ilmuwan telah menemukan bahwa hati memiliki sistem saraf sendiri. Jaringan saraf tersebut bisa disebut sebagai "heart brain" karena mengandung lebih dari 40.000 neuron. Hal ini menunjukkan bahwa hati ternyata memiliki kemampuan neuroplastisitas – yang selama ini hanya dikenal pada otak. Intinya, hati merupakan sistem yang cerdas.

Image: iamheart.org
Al-Quran menjelaskan mengenai hal ini dalam ayat berikut:

Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur. [Surat Al-Mu’minun Ayat 78]

Hal ini menarik bahwa pendengaran dan penglihatan sebagai sarana menerima informasi tidak dikaitkan dengan otak atau akal. Hati dalam ayat di atas bukan sebagai tempat perasaan – gembira, sedih, marah, gelisah dan sebagainya – melainkan sebagai sarana untuk memahami sebuah informasi seperti dijelaskan dalam ayat berikut:

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. [Surat Al-Hajj Ayat 46]

Para peneliti juga menemukan bahwa antara hati dan otak terjadi komunikasi dua arah yang dinamis dan berkelanjutan. Sebuah studi menunjukkan bahwa hati berkomunikasi dengan otak melalui empat cara: secara neurologis (melalui transmisi impuls saraf), secara biokimia (melalui hormon dan neurotransmiter), secara biofisik (melalui gelombang tekanan) dan secara energetika (melalui interaksi medan elektromagnetik). Komunikasi ini secara signifikan mempengaruhi aktivitas otak kita.

Hati menerjemahkan informasi yang kemudian dikomunikasikan melalui dorongan neurologis dan masuk ke otak kemudian menuju medula dan akhirnya sampai ke pusat otak yang lebih tinggi di mana mereka dapat mempengaruhi proses kognitif kita seperti bagaimana kita membuat keputusan dan bagaimana kita memandang realitas. Secara historis, di hampir setiap budaya dunia, hati dianggap memiliki peran yang jauh lebih beragam dalam sistem kehidupan manusia. Hati dianggap sebagai sumber kebijaksanaan, wawasan spiritual dan pemikiran.

Al-Quran memberi kecaman keras terhadap mereka yang tidak mau menggunakan hatinya untuk berpikir seperti dijelaskan dalam ayat berikut:

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. [Surat Al-A’raf Ayat 179]

Dalam Hadits dari Nu`man bin Basyir bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati". (HR Muslim no. 1599. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasâ`i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Darimi, dengan lafazh yang berbeda-beda namun maknanya sama. Hadits ini dimuat oleh Imam an-Nawawi dalam Arba’in an-Nawawiyah, hadits no. 6, dan Riyadhush-Shalihin, no. 588)

Image: holyhealthyhealth.com
Pearsall, pakar yang ahli di bidang psiko-neuro-imunologi, telah meneliti beberapa pasien penerima transplantasi hati. Dia menemukan bahwa banyak dari mereka yang telah mengalami perubahan karakteristik mengikuti karakter pendonor. Pearsall memberi contoh individu yang misalnya tiba-tiba menyukai musik tertentu yang dulu mereka benci sebelum transplantasi, atau tiba-tiba tidak menyukai makanan tertentu. Masing-masing karakteristik ini setelah dilacak ternyata sesuai dengan karakteristik pendonor hati yang menyukai jenis musik tersebut atau membenci makanan tertentu.

Mungkin salah satu contoh paling mencolok adalah seorang gadis berusia delapan tahun yang menerima transplantasi hati seorang gadis berusia sepuluh tahun yang dibunuh. Tak lama setelah transplantasi, gadis kecil tersebut memberitahu ibunya tentang seorang pria yang telah membunuh sang pendonor. Ibu membawa anak itu ke psikiater yang mempercayai ucapan gadis itu dan selanjutnya memanggil polisi. Dengan menggunakan deskripsi gadis kecil tentang senjata, waktu, pakaian yang dipakai si pembunuh dan tempat kejadian perkara, polisi akhirnya bisa menemukan si pembunuh.

Pearsall lebih lanjut menyatakan bahwa setiap pasien transplantasi hati, tidak peduli berapa tahun melewati transplantasi, masih “berkomunikasi” dengan hati baru mereka dalam beberapa cara dan melaporkan beberapa bentuk jejak spiritual dari pendonor. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki kontrol terhadap hati mereka. Jadi siapa yang mengendalikan hati manusia?

Image: quotemaster.org
Al-Quran memberikan jawaban mengenai hal itu dalam ayat berikut:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan. [Surat Al-Anfal Ayat 24]

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT menguasai hati manusia. Selama ribuan tahun, para cendekiawan, filsuf dan ilmuwan telah merenungkan bahwa jiwa berada di dalam hati, bahwa hati adalah sumber cinta, dan bahwa kita merasakan dengan hati kita. Wallahu a'lam.